ISLAM, Hangatnya
Selimut Terindah
“Dik Hanifa, udah ngaji belum?”
“Jangan lupa, selesai sholat ngaji
dulu dik.”
“Ngaji kamu sudah sampai mana?”
Kata-kata itu telah menemani Hanifa
sejak kecil. Suara Bapak, Ibu dan Simbahnya yang berkali-kali dan tak pernah
lelah mengingatkan Dia untuk rajin mengaji. Entah dari kapan Hanifa mulai
mengaji, bahkan Dia sudah lupa. Seingat Hanifa, sejak sebelum sekolah TK awal
mulai dia mengaji. Begitu hangatnya pendidikan agama Hanifa yang terlahir dari
lingkungan keluarga yang memberikan kasih sayang sepenuhnya tentang keagamaan.
Tentu itu akan membawa dirinya menjadi pribadi yang baik.
Indahnya
naluri islami disebuah desa mungil perbatasan kota yang berselimut rindangnya
pepohonan. Di desa inilah tempat Hanifa tinggal. Tepatnya di rumah sederhana di
tengah desa. Di rumah ini Dia tinggal bersama seorang Bapak dan Ibu yang
bekerja sebagai petani dan seorang Nenek yang biasa dipanggil simbah oleh
Hanifa, dialah yang mengasuhnya Hanifa ketika ditinggal bapak dan ibunya di
ladang. Simbah ini panggilan seorang nenek di desa. Di keluarga sederhana ini
Hanifa diajarkan agama islam sejak kecil. Ibu dan Bapaknya yang merupakan orang
terdekat Hanifa inilah yang lebih banyak mengajarkan hal- hal yang berhubungan
dengan agama islam di rumah. Tak jauh berbeda mungkin dengan anak-anak lainnya,
pengenalan islam Hanifa berawal dari bacaan-bacaan lafal Allah. Salah satunya
dia diajarkan membaca basmallah sebelum melakukan sesuatu terutama ketika akan
tidur, makan, dan bepergiaan. Bapaknya setiap habis sholat maghrib sambil
menunggu Ibunya masak untuk makan malam mengajari Hanifa belajar membaca Iqro’.
Ketika akan tidur ibunya menyalakan mp3 senandung Al-Qur’an. Ketika ditinggal Bapak
dan Ibunya berladang simbahnya menceritakan Hanifa kisah-kisah para Nabi dan
perjuangan-perjuangan dimasa penjajahan.
Pengaruh
keagamaan tak hanya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga saja, lingkungan
masyarakat pun terpaut juga dengan pengaruh keagamaan seorang anak. Di desa
mungil ini masyarakat setiap hari bersemangat dalam melaksanakan ibadah. Setiap
hari mayoritas penduduk desa sholat lima waktu berjamaah, setiap pagi diadakan
tadarus Al-Qur’an, setiap siang dan sore anak-anak mengaji, setiap habis
maghrib remaja-remaja pada mengaji, bahkan di desa tersebut rutin mengadakan
pengajian-pengajian setiap malam minggu legi. Minggu legi itu nama hari pasaran
di Yogyakarta.
Seperti
pagi ini ketika mentari mulai beranjak dari peraduannya, ayam-ayam mulai
berkokok, dedaunan masih berselimut tebalnya embun yang dingin, senandung ayat
Al-Qur’an terlantun indah menyambut adzan subuh, angin semilir sejuk menyusup
rongga-rongga jendela kamar yang mampu membangunkan si mungil Hanifa yang masih
terlelap dalam tidurnya. Ibunya mengetuk pintu kamar Hanifa untuk mengajak
sholat berjamaah di mushola.
“Tok... tok... tok... bangun nak
siap-siap sholat berjamaah dulu sudah mau adzan.”
“Huamzzz..... iya bu, Hanifa sudah
bangun.”
Beberapa
menit kemudian, Adzan berkumandang. Ia dan keluarga berjalan menuju mushola.
Sampai di mushola sudah banyak warga yang bersiap untuk melaksanakan ibadah
sholat subuh. Sholat subuh telah usai kini berganti lantunan senandung darus
Al-Qur’an para bapak, ibu, dan nenek di desa itu. Terasa tentram hidup di desa
ini.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB Hanifa beserta keluarga beranjak pulang.
Sesampai di rumah Bapak dan Ibunya pergi ke ladang. Dia di rumah bersama
neneknya. Seperti biasa nenek mengasuh Dia sambil membuat sapu lidi. Di
sela-sela membuat sapu lidi nenek menceritakan kisah-kisah para Nabi. Pada saat
itu neneknya menceritakan kisah Nabi Ibrahim As mencari Allah sebagai Tuhannya.
“Ketika Nabi Ibrahim as masih
anak-anak, dia dapat merasakan kesesatan kaumnya yang menyembah berhala. Lalu
Nabi Ibrahim as merenung dan berfikir, siapakah Tuhan yang sebenarnya? Pada
suatu malam, Nabi Ibrahim as kagum akan bintang-bintang di langit. Ia
menganggap bahwa itu adalah Tuhannya. Namun kemudian ia kecewa ternyata bulan
lebih besar daripada bintang. Ia menganggap pula bahwa bulan adalah Tuhannya
yang sebenarnya. Namun ketika menjelang pagi Nabi Ibrahim as terkejut karena
bintang dan rembulan yang semalam diyakini sebagai Tuhan ternyata lenyap dari
pandangan. Nabi Ibrahim as pun kecewa lagi. Lalu muncul pula matahari yang
bersinar lebih terang dan besar. Ia menganggap bahwa matahari itulah Tuhannya.
Sekali lagi Nabi Ibrahim as kecewa karena matahari juga hilang ketika malam
tiba. Akhirnya Nabi Ibrahim as mengetahui bahwa Allah SWT adalah satu-satunya
Tuhan yang berhak disembah.”
Mendengar
kisah Nabi Ibrahim as ini Hanifa bernostalgia dengan sebuah pertanyaan yang
cukup membuat geli tertawa kecil saat mendengarnya.
“Nek, nenek tadi bercerita kalau
Tuhan kita yang berhak disembah itu Allah SWT. Allah itu mana? Kok gak nampak
ya?”
Itu
adalah sebuah pertanyaan Hanifa yang masih berumur 3 tahun. Sebuah pertanyaan
yang memang wajar dilontarkan oleh seorang anak kecil polos dengan sejuta rasa
keingintahuannya.
Mendengar
pertanyaan itu tentu membuat nenek tersenyum. Simpul senyumnya manis sekali.
Sambil tersenyum dengan suara bernada pelan dan lembut nenek menjawab
pertanyaan Hanifa.
“Allah itu ada, Nak. Namun ia tidak
berupa seperti kita manusia. Dia tidak laki-laki, juga tidak perempuan. Kita
tidak bisa melihatnya. Tetapi kita selalu bisa merasakan keberadaannya bersama
kita dengan terus beribadah dan mencintai-Nya. Seperti kisah Nabi Ibrahim as
tadi dia menganggap bintang, kemudian bulan, kemudian lagi matahari, dan yang
terakhir dia mengetahui bahwa Allah SWT Tuhan yang berhak disembah. Dia
menyadari kalau bintang, bulan, matahari bisa muncul dan hilang pada
waktu-waktu tertentu itu pasti ada yang mengaturnya. Dan yang menciptakan
sesuatu benda itu pasti tidak sama dengan benda yang diciptkan. Itulah Alla SWT
yang telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya ini.”
Itulah
penjelasan nenek untuk menjawab pertanyaan Hanifa. Sebagai seorang gadis kecil
yang polos tentu akan segera mengangguk untuk mengiyakan apa yang dikatakan
oleh nenek.
Adzan
dzuhur berkumandang, bapak dan ibu Hanifa pulang. Disela pekerjaan di ladang
yang banyak mereka selalu menyempatkan diri pulang ketika mendengar adzan luhur
dan asar. Mereka mengajak Hanifa untuk sholat berjamaah di mushola.
*******
Hari
demi hari berlalu, bulan demi bulan berlalu tak terasa begitu cepatnya waktu
bergulir. Kini harum ramadhan telah tercium. Satu bulan lagi ramadhan datang.
Bulan yang penuh berkah yang dirindukan umat muslim disetiap penjuru dunia. Di
malam yang kian larut tampaknya keluarga Hanifa membicarakan suatu hal yang
serius. Si mungil Hanifa pun sudah terlelap dalam tidurnya..........
Penulis
Asniyati Hanifah
“Dik Hanifa, udah ngaji belum?”
“Jangan lupa, selesai sholat ngaji
dulu dik.”
“Ngaji kamu sudah sampai mana?”
0 komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN KALO MAU BERKOMENTAR,,
MUMPUNG GAK DILARANG...