Sabtu, 11 April 2015

Cuplikan Novel Ku yang Belum Selesai "Pelita Hingga Akhiru Sujud"

ISLAM, Hangatnya Selimut Terindah

“Dik Hanifa, udah ngaji belum?”
“Jangan lupa, selesai sholat ngaji dulu dik.”
“Ngaji kamu sudah sampai mana?”
            Kata-kata itu telah menemani Hanifa sejak kecil. Suara Bapak, Ibu dan Simbahnya yang berkali-kali dan tak pernah lelah mengingatkan Dia untuk rajin mengaji. Entah dari kapan Hanifa mulai mengaji, bahkan Dia sudah lupa. Seingat Hanifa, sejak sebelum sekolah TK awal mulai dia mengaji. Begitu hangatnya pendidikan agama Hanifa yang terlahir dari lingkungan keluarga yang memberikan kasih sayang sepenuhnya tentang keagamaan. Tentu itu akan membawa dirinya menjadi pribadi yang baik. 
Indahnya naluri islami disebuah desa mungil perbatasan kota yang berselimut rindangnya pepohonan. Di desa inilah tempat Hanifa tinggal. Tepatnya di rumah sederhana di tengah desa. Di rumah ini Dia tinggal bersama seorang Bapak dan Ibu yang bekerja sebagai petani dan seorang Nenek yang biasa dipanggil simbah oleh Hanifa, dialah yang mengasuhnya Hanifa ketika ditinggal bapak dan ibunya di ladang. Simbah ini panggilan seorang nenek di desa. Di keluarga sederhana ini Hanifa diajarkan agama islam sejak kecil. Ibu dan Bapaknya yang merupakan orang terdekat Hanifa inilah yang lebih banyak mengajarkan hal- hal yang berhubungan dengan agama islam di rumah. Tak jauh berbeda mungkin dengan anak-anak lainnya, pengenalan islam Hanifa berawal dari bacaan-bacaan lafal Allah. Salah satunya dia diajarkan membaca basmallah sebelum melakukan sesuatu terutama ketika akan tidur, makan, dan bepergiaan. Bapaknya setiap habis sholat maghrib sambil menunggu Ibunya masak untuk makan malam mengajari Hanifa belajar membaca Iqro’. Ketika akan tidur ibunya menyalakan mp3 senandung Al-Qur’an. Ketika ditinggal Bapak dan Ibunya berladang simbahnya menceritakan Hanifa kisah-kisah para Nabi dan perjuangan-perjuangan dimasa penjajahan.
Pengaruh keagamaan tak hanya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga saja, lingkungan masyarakat pun terpaut juga dengan pengaruh keagamaan seorang anak. Di desa mungil ini masyarakat setiap hari bersemangat dalam melaksanakan ibadah. Setiap hari mayoritas penduduk desa sholat lima waktu berjamaah, setiap pagi diadakan tadarus Al-Qur’an, setiap siang dan sore anak-anak mengaji, setiap habis maghrib remaja-remaja pada mengaji, bahkan di desa tersebut rutin mengadakan pengajian-pengajian setiap malam minggu legi. Minggu legi itu nama hari pasaran di Yogyakarta.
Seperti pagi ini ketika mentari mulai beranjak dari peraduannya, ayam-ayam mulai berkokok, dedaunan masih berselimut tebalnya embun yang dingin, senandung ayat Al-Qur’an terlantun indah menyambut adzan subuh, angin semilir sejuk menyusup rongga-rongga jendela kamar yang mampu membangunkan si mungil Hanifa yang masih terlelap dalam tidurnya. Ibunya mengetuk pintu kamar Hanifa untuk mengajak sholat berjamaah di mushola.
“Tok... tok... tok... bangun nak siap-siap sholat berjamaah dulu sudah mau adzan.”
“Huamzzz..... iya bu, Hanifa sudah bangun.”
            Beberapa menit kemudian, Adzan berkumandang. Ia dan keluarga berjalan menuju mushola. Sampai di mushola sudah banyak warga yang bersiap untuk melaksanakan ibadah sholat subuh. Sholat subuh telah usai kini berganti lantunan senandung darus Al-Qur’an para bapak, ibu, dan nenek di desa itu. Terasa tentram hidup di desa ini.
            Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB Hanifa beserta keluarga beranjak pulang. Sesampai di rumah Bapak dan Ibunya pergi ke ladang. Dia di rumah bersama neneknya. Seperti biasa nenek mengasuh Dia sambil membuat sapu lidi. Di sela-sela membuat sapu lidi nenek menceritakan kisah-kisah para Nabi. Pada saat itu neneknya menceritakan kisah Nabi Ibrahim As mencari Allah sebagai Tuhannya.
“Ketika Nabi Ibrahim as masih anak-anak, dia dapat merasakan kesesatan kaumnya yang menyembah berhala. Lalu Nabi Ibrahim as merenung dan berfikir, siapakah Tuhan yang sebenarnya? Pada suatu malam, Nabi Ibrahim as kagum akan bintang-bintang di langit. Ia menganggap bahwa itu adalah Tuhannya. Namun kemudian ia kecewa ternyata bulan lebih besar daripada bintang. Ia menganggap pula bahwa bulan adalah Tuhannya yang sebenarnya. Namun ketika menjelang pagi Nabi Ibrahim as terkejut karena bintang dan rembulan yang semalam diyakini sebagai Tuhan ternyata lenyap dari pandangan. Nabi Ibrahim as pun kecewa lagi. Lalu muncul pula matahari yang bersinar lebih terang dan besar. Ia menganggap bahwa matahari itulah Tuhannya. Sekali lagi Nabi Ibrahim as kecewa karena matahari juga hilang ketika malam tiba. Akhirnya Nabi Ibrahim as mengetahui bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah.”
            Mendengar kisah Nabi Ibrahim as ini Hanifa bernostalgia dengan sebuah pertanyaan yang cukup membuat geli tertawa kecil saat mendengarnya.
“Nek, nenek tadi bercerita kalau Tuhan kita yang berhak disembah itu Allah SWT. Allah itu mana? Kok gak nampak ya?”
            Itu adalah sebuah pertanyaan Hanifa yang masih berumur 3 tahun. Sebuah pertanyaan yang memang wajar dilontarkan oleh seorang anak kecil polos dengan sejuta rasa keingintahuannya.
            Mendengar pertanyaan itu tentu membuat nenek tersenyum. Simpul senyumnya manis sekali. Sambil tersenyum dengan suara bernada pelan dan lembut nenek menjawab pertanyaan Hanifa.
“Allah itu ada, Nak. Namun ia tidak berupa seperti kita manusia. Dia tidak laki-laki, juga tidak perempuan. Kita tidak bisa melihatnya. Tetapi kita selalu bisa merasakan keberadaannya bersama kita dengan terus beribadah dan mencintai-Nya. Seperti kisah Nabi Ibrahim as tadi dia menganggap bintang, kemudian bulan, kemudian lagi matahari, dan yang terakhir dia mengetahui bahwa Allah SWT Tuhan yang berhak disembah. Dia menyadari kalau bintang, bulan, matahari bisa muncul dan hilang pada waktu-waktu tertentu itu pasti ada yang mengaturnya. Dan yang menciptakan sesuatu benda itu pasti tidak sama dengan benda yang diciptkan. Itulah Alla SWT yang telah menciptakan langit, bumi, dan seisinya ini.”
            Itulah penjelasan nenek untuk menjawab pertanyaan Hanifa. Sebagai seorang gadis kecil yang polos tentu akan segera mengangguk untuk mengiyakan apa yang dikatakan oleh nenek.
            Adzan dzuhur berkumandang, bapak dan ibu Hanifa pulang. Disela pekerjaan di ladang yang banyak mereka selalu menyempatkan diri pulang ketika mendengar adzan luhur dan asar. Mereka mengajak Hanifa untuk sholat berjamaah di mushola.
                                                                        *******
            Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan berlalu tak terasa begitu cepatnya waktu bergulir. Kini harum ramadhan telah tercium. Satu bulan lagi ramadhan datang. Bulan yang penuh berkah yang dirindukan umat muslim disetiap penjuru dunia. Di malam yang kian larut tampaknya keluarga Hanifa membicarakan suatu hal yang serius. Si mungil Hanifa pun sudah terlelap dalam tidurnya..........

Penulis
Asniyati Hanifah
 

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN KALO MAU BERKOMENTAR,,
MUMPUNG GAK DILARANG...