Dimana Kasih Sayang untuk Ku
Langit kini telah berubah warnanya, kecoklatan serupa tanah
dan tak lama lagi akan memudar. Tak ada lagi kepak sayap yang melintasi
cakrawala. Hanya kibasan angin tanpa jejak yang menjatuhkan daun-daun dari
ranting yang tak terjangkau. Mentari mulai kembali ke peraduannya. Namun,
Hanifa tidak menghiraukan hal itu. Hanifah siswi yang duduk di kelas tiga SMPN
Pelita Jaya. Sejak sepulang sekolah Hanifa masih saja duduk di rerumputan
ladang belakang rumahnya dengan seribu angan-angan untuk mencari solusi. Rasa sedih yang sering kali datang dalam
hatinya. Inilah yang membuat langkah kakinya berat untuk mengantar raganya kembali
ke rumah sebelum mendapat solusi.
Hanifa teringat akan hangatnya kasih sayang orang tuanya
dimasa kecil. Namun, semua telah berlalu. Semenjak simbahnya meninggal kasih
sayang itu mulai pudar. Dan kini yang tersisa tinggal bayang-bayang yang selalu
tersimpan di lubuk hatinya. Bagaimanakah cara untuk mengembalikan kasih sayang
kedua orang tuanya seiring dengan kehidupan yang selalu berjalan tiada henti.
Itulah kalimat yang membebani Hanifa saat ini.
Mentari tinggal separoh yang terlihat, namun Hanifa tak
menghiraukan hal itu. Dia masih saja duduk di rerumputan ladang belakang
rumahnya. Hingga akhirnya tinggal seperempat mentari yang terlihat. Sebenarnya Hanifa
enggan pergi dari tempat duduknya semula. Namun, jika tidak segera pergi dan
pulang pasti dia terlambat untuk berangkat mengaji.
Setelah tiba di rumah, pintu masih tertutup rapat. Hanya
pancaran sinar televisi terlihat dari kaca jendela. Pertanda hanya adiknya saja
yang ada di rumah. Hanifa sudah menduga bapak dan emaknya masih sibuk mengurus
ladang. Bapak dan emaknya selalu bekerja keras mengurus ladang untuk
mendapatkan hasil panen yang bagus. Semua meteri Hanifa selalu dipenuhi, namun
dengan kesibukannya di ladang itu membuat Hanifa kurang akan kasih sayang.
Harapan Hanifa itu bukanlah materi-materi yang mewah, namun hidup apa adanya
dengan hangatnya kasih sayang itu lebih terasa bahagia gumamnya dalam hati.
“Mbak baru pulang?” tanya adiknya
“Iya, bapak emak belum pulang dik?”
“Belum.”
“Ya sudah dik nonton televisinya nanti lagi, ayo siap-siap
berangkat ngaji dulu.”
“Ndak mau, aku berangkat ngajinya nanti nunggu emak pulang
aja.”
Hanifa sudah menduga bapak dan emaknya masih saja sibuk
dengan urusan ladang. Sampai-sampai sudah petang belum pulang. Hanifa mengerti
bahwa mereka bekerja untuk memenuhi materinya, namun dengan kesibukan mereka di
ladang itu membuatnya kurang kasih sayang. Hanifa merasa iri dengan teman-temannya
yang lain, yang selalu mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Apalagi
masalah sekolah pasti selalu diperhatikan. Sedangkan Hanifa hampir-hampir tiada
perhatian satu pun tentang sekolah. Sejak SD Hanifa berusaha belajar keras
sendiri, ketika di sekolah dia benar-benar memanfaatkan watunya bertanya dengan
bapak ibu guru yang mengajar, dan ketika dirumah kesulitan belajar dia
mencari-cari solusi sendiri kalau benar-benar tidak bisa dia bertanya kepada
kakak iparnya. “Tadi sekolahnya gimana? Nilainya berapa?” itulah kata-kata yang
dinanti-nanti Hanifa dari SD sampai sekarang. Tapi ya Hanifa berusaha menerimanya
dengan sabar dan tabah. Dengan selalu memotivasi dirinya sendiri untuk meningkatkan
semangatnya. Segera dia bersiap-siap untuk berangkat mengaji.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Hanifa seusai
mengaji belajar di dalam kamarnya seorang diri. Pada saat dia sedang belajar
dia mendengar suara dari luar, lebih tepatnya adik dan emaknya.
“Mak besok di
sekolah adik ada pagelaran pentas seni, datang ya kita nonton bersama.”
“Iya besok emak pasti datang.”
Yah itulah suara yang Hanifa dengar. Serasa dengan senang
hati emangnya mau menghadiri undangan acara di sekolah adiknya. Dia berharap
besok pagi dia menerima undangan wisuda semoga orang tuanya dengan senang hati
menghadiri undangannya.
*******
Burung-burung segera berterbangan di angkasa. Hal itu
menandakan bahwa hujan mulai datang sore ini. Gerimis mulai turun. Hanifa
menanti kedatangan orang tuanya untuk mengasihka undangan wisuda. Hanifa melihat
jam tangannya. Jam lima sore. Ia mendesah menghela nafas dalam-dalam. Hari
semakin petang, wajah Hanifa tampak semakin gelisah. Seharusnya dia merasa
senang dan bahagia. Tetapi justru dia merasa mendung tebal menutup hatinya
sehingga rasa bahagianya tidak bisa dia rasakan seutuhnya......
Penulis
Asniyati Hanifah
0 komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN KALO MAU BERKOMENTAR,,
MUMPUNG GAK DILARANG...