Sabtu, 11 April 2015

Cuplikan Novel Ku yang Belum Selesai "Dimana Kasih Sayang untuk Ku"

Dimana Kasih Sayang untuk Ku

Langit kini telah berubah warnanya, kecoklatan serupa tanah dan tak lama lagi akan memudar. Tak ada lagi kepak sayap yang melintasi cakrawala. Hanya kibasan angin tanpa jejak yang menjatuhkan daun-daun dari ranting yang tak terjangkau. Mentari mulai kembali ke peraduannya. Namun, Hanifa tidak menghiraukan hal itu. Hanifah siswi yang duduk di kelas tiga SMPN Pelita Jaya. Sejak sepulang sekolah Hanifa masih saja duduk di rerumputan ladang belakang rumahnya dengan seribu angan-angan untuk mencari solusi.  Rasa sedih yang sering kali datang dalam hatinya. Inilah yang membuat langkah kakinya berat untuk mengantar raganya kembali ke  rumah sebelum mendapat solusi.
Hanifa teringat akan hangatnya kasih sayang orang tuanya dimasa kecil. Namun, semua telah berlalu. Semenjak simbahnya meninggal kasih sayang itu mulai pudar. Dan kini yang tersisa tinggal bayang-bayang yang selalu tersimpan di lubuk hatinya. Bagaimanakah cara untuk mengembalikan kasih sayang kedua orang tuanya seiring dengan kehidupan yang selalu berjalan tiada henti. Itulah kalimat yang membebani Hanifa saat ini.
Mentari tinggal separoh yang terlihat, namun Hanifa tak menghiraukan hal itu. Dia masih saja duduk di rerumputan ladang belakang rumahnya. Hingga akhirnya tinggal seperempat mentari yang terlihat. Sebenarnya Hanifa enggan pergi dari tempat duduknya semula. Namun, jika tidak segera pergi dan pulang pasti dia terlambat untuk berangkat mengaji.
Setelah tiba di rumah, pintu masih tertutup rapat. Hanya pancaran sinar televisi terlihat dari kaca jendela. Pertanda hanya adiknya saja yang ada di rumah. Hanifa sudah menduga bapak dan emaknya masih sibuk mengurus ladang. Bapak dan emaknya selalu bekerja keras mengurus ladang untuk mendapatkan hasil panen yang bagus. Semua meteri Hanifa selalu dipenuhi, namun dengan kesibukannya di ladang itu membuat Hanifa kurang akan kasih sayang. Harapan Hanifa itu bukanlah materi-materi yang mewah, namun hidup apa adanya dengan hangatnya kasih sayang itu lebih terasa bahagia gumamnya dalam hati.
“Mbak baru pulang?” tanya adiknya
“Iya, bapak emak belum pulang dik?”
“Belum.”
“Ya sudah dik nonton televisinya nanti lagi, ayo siap-siap berangkat ngaji dulu.”
“Ndak mau, aku berangkat ngajinya nanti nunggu emak pulang aja.”
Hanifa sudah menduga bapak dan emaknya masih saja sibuk dengan urusan ladang. Sampai-sampai sudah petang belum pulang. Hanifa mengerti bahwa mereka bekerja untuk memenuhi materinya, namun dengan kesibukan mereka di ladang itu membuatnya kurang kasih sayang. Hanifa merasa iri dengan teman-temannya yang lain, yang selalu mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Apalagi masalah sekolah pasti selalu diperhatikan. Sedangkan Hanifa hampir-hampir tiada perhatian satu pun tentang sekolah. Sejak SD Hanifa berusaha belajar keras sendiri, ketika di sekolah dia benar-benar memanfaatkan watunya bertanya dengan bapak ibu guru yang mengajar, dan ketika dirumah kesulitan belajar dia mencari-cari solusi sendiri kalau benar-benar tidak bisa dia bertanya kepada kakak iparnya. “Tadi sekolahnya gimana? Nilainya berapa?” itulah kata-kata yang dinanti-nanti Hanifa dari SD sampai sekarang. Tapi ya Hanifa berusaha menerimanya dengan sabar dan tabah. Dengan selalu memotivasi dirinya sendiri untuk meningkatkan semangatnya. Segera dia bersiap-siap untuk berangkat mengaji.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Hanifa seusai mengaji belajar di dalam kamarnya seorang diri. Pada saat dia sedang belajar dia mendengar suara dari luar, lebih tepatnya adik dan emaknya.
 “Mak besok di sekolah adik ada pagelaran pentas seni, datang ya kita nonton bersama.”
“Iya besok emak pasti datang.”
Yah itulah suara yang Hanifa dengar. Serasa dengan senang hati emangnya mau menghadiri undangan acara di sekolah adiknya. Dia berharap besok pagi dia menerima undangan wisuda semoga orang tuanya dengan senang hati menghadiri undangannya.
*******

Burung-burung segera berterbangan di angkasa. Hal itu menandakan bahwa hujan mulai datang sore ini. Gerimis mulai turun. Hanifa menanti kedatangan orang tuanya untuk mengasihka undangan wisuda. Hanifa melihat jam tangannya. Jam lima sore. Ia mendesah menghela nafas dalam-dalam. Hari semakin petang, wajah Hanifa tampak semakin gelisah. Seharusnya dia merasa senang dan bahagia. Tetapi justru dia merasa mendung tebal menutup hatinya sehingga rasa bahagianya tidak bisa dia rasakan seutuhnya......

Penulis 
Asniyati Hanifah 

0 komentar:

Posting Komentar

SILAHKAN KALO MAU BERKOMENTAR,,
MUMPUNG GAK DILARANG...